Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Agustus: Antara Merah Putih dan Api Kemarahan

Sabtu, 30 Agustus 2025 | Agustus 30, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-31T06:11:42Z


Oponi - Agustus selalu datang dengan semangat kemerdekaan. Bendera merah putih berkibar di tiap sudut jalan, langit dihiasi oleh hiruk-pikuk lomba rakyat, dan kita kembali diingatkan akan perjuangan para pendiri bangsa. Namun, Agustus tahun ini tak hanya tentang nostalgia dan perayaan. Ia juga tentang jeritan rakyat yang menggema di jalan-jalan. Tentang poster protes, gas air mata, dan api yang membakar gedung-gedung wakil rakyat.

Bulan yang seharusnya penuh sukacita, tahun ini dibayangi oleh rasa marah dan frustrasi. Demonstrasi besar-besaran terjadi hampir serentak di berbagai kota. Isunya tak sederhana: mulai dari tunjangan anggota DPR yang dinilai tak masuk akal, ketidakadilan ekonomi, hingga kematian tragis seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan terlindas kendaraan taktis polisi saat menyuarakan aspirasinya.

Agustus 1945 adalah momentum ketika bangsa ini berdiri untuk hak hidup yang layak dan bebas dari penindasan. Ironisnya, Agustus 2025 menunjukkan betapa cita-cita itu masih diperjuangkan, bukan oleh penjajah asing, tapi oleh rakyat kepada pemimpinnya sendiri.

Di tengah parade kemerdekaan, ribuan buruh turun ke jalan menuntut keadilan ekonomi. Mereka membawa spanduk bertuliskan: “Hapus Outsourcing!”, “Naikkan Upah!”, “Hapus Pajak THR!”. Ini bukan sekadar slogan. Ini adalah ungkapan kelelahan atas sistem yang semakin menjauh dari semangat keadilan sosial yang pernah diimpikan para pendiri republik.

Demonstrasi memang bukan hal baru di republik ini. Namun yang menjadikannya berbeda adalah waktunya di bulan yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan syukur. Alih-alih menjadi ajang refleksi nasional yang damai, bulan kemerdekaan justru menjadi panggung perlawanan. Ada yang menyebutnya krisis. Tapi bisa juga kita menyebutnya sebagai bentuk cinta paling jujur kepada Indonesia cinta yang cukup besar hingga berani marah saat negeri ini terasa menyimpang dari janjinya.

Di satu sisi, kita melihat rakyat menyanyikan lagu kebangsaan dengan bangga. Di sisi lain, mereka menyuarakan kritik dengan suara serak karena terlalu lama diteriakkan. Keduanya, sesungguhnya, adalah bentuk patriotisme.

Karena mencintai Indonesia tak selalu berarti diam dan ikut arus. Kadang, mencintai artinya turun ke jalan, membawa luka, dan berharap perubahan.


Ditulis Oleh: Rekan Mujib (Sekertaris PAC IPNU Pasean) 

×
Berita Terbaru Update