Zaman sudah berubah. Kini kita hidup dalam era di mana informasi bertebaran seperti debu di udara—mudah diakses, cepat menyebar, tapi tidak semuanya membawa kebaikan. Lalu, sebagai pelajar NU, bagaimana kita menyikapi derasnya arus digital ini?
Era digital membawa banyak peluang. Kita bisa belajar apa saja lewat gawai di tangan, berdiskusi lintas daerah, bahkan berdakwah lewat konten-konten sederhana. Seorang pelajar NU hari ini bukan cuma peserta upacara bendera atau santri yang setia dengan kitabnya, tapi juga harus mampu menjadi duta Aswaja di dunia maya.
Namun jangan salah. Di balik peluang besar, ada tantangan yang tak kecil. Kita harus menghadapi hoaks, konten sesat, dan gaya hidup instan yang seringkali menjauhkan kita dari nilai-nilai ke-NU-an. Banyak pelajar yang kehilangan arah karena terlalu larut dalam dunia maya tanpa filter nilai.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, kuatkan literasi digital. Jangan asal share, jangan asal percaya. Jadilah pelajar NU yang kritis tapi tetap santun. Kedua, gunakan media sosial untuk berdakwah bukan hanya ceramah, tapi juga lewat meme, video pendek, bahkan status harian yang membawa pesan baik. Ketiga, tetap terhubung dengan dunia nyata. Jangan biarkan dunia digital menjauhkan kita dari majelis ilmu, dari kiai, dan dari tradisi yang membentuk jati diri kita.
Menjadi pelajar NU di era digital bukan berarti harus serba modern, tapi bagaimana kita bisa memadukan kearifan masa lalu dengan kecepatan zaman sekarang. Kita harus jadi generasi yang tidak kehilangan akar, tapi juga tidak ketinggalan zaman.
Karena di tangan pelajar NU hari ini, masa depan peradaban bangsa akan dibentuk baik di dunia nyata maupun di dunia digital.